Internasional

Retno: Kondisi Keuangan inklusif harus satu di antaranya di perkembangan wilayah Afghanistan

14

Ibukota Indonesia – Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan bahwa kegiatan ekonomi inklusif, yang melibatkan perempuan, harus berubah menjadi bagian di pengerjaan sektor ekonomi Afghanistan.

Pernyataan itu ia komunikasikan di sesi pertama bertajuk Enabling Private Sector dalam Pertemuan ke-3 Para Utusan Khusus untuk negara Afghanistan atau disebut Doha III ke Qatar, Senin.

“Masalah perempuan ini setiap saat saya bawakan pada tiap isu yang tersebut kita bahas. Dalam Sesi I, saya juga menyampaikan bahwa memulai pembangunan kembali kepercayaan menjadi sangat penting sekali di sistem perbankan,” kata Retno di transkrip penjelasan pers yang disampaikan Kemlu RI, Awal Minggu malam.

Selain pemberdayaan perempuan, ia juga menekankan pentingnya memulai pembangunan lingkungan yang dimaksud memperkuat (enabling environment) bagi tumbuhnya sektor swasta (private sector) yang inklusif.

Retno memaparkan beberapa hal yang digunakan sudah dikerjakan Nusantara dengan Afghanistan, misalnya kerja serupa dengan Misi Bantuan PBB dalam negara Afghanistan (UNAMA) ke bidang inklusi keuangan dengan mengembangkan model perusahaan keuangan mikro syariah.

“Kemudian kerja sejenis pengembangan sharia banking. Komunikasi pada waktu ini terus berjalan kemudian sebagai catatan, Bank Bumi pada presentasinya secara khusus mengatakan Indonesia sebagai negara yang dimaksud dapat memberikan kontribusi di hal ini,” tuturnya.

Retno pun menyampaikan persiapan Negara Indonesia untuk menyambungkan kontak antara para wirausahawan perempuan Nusantara dengan Afghanistan.

“Hal lain yang tersebut saya ungkapkan di Sesi I adalah mengenai pentingnya awareness mengenai rezim sanksi secara benar untuk menyavoid dampak yang digunakan tiada wajib bagi sektor ekonomi Afghanistan,” katanya.

Ia kemudian mengusulkan pembentukan kelompok kerja (working group) yang khusus mengkaji kerja sejenis perekonomian dengan lebih tinggi konkret dan juga melibatkan para pemangku kepentingan terkait guna memberikan kontribusi bagi kerja serupa ekonomi.

Lebih lanjut, pada Sesi II yang mana mendiskusikan persoalan pemberantasan narkotika, Retno mengutarakan bahwa isu narkoba tidaklah belaka mengkhawatirkan bagi Afghanistan, tetapi juga isu yang tersebut akan memberikan dampak pada kawasan lalu dunia.

“Kita harus mengapresiasi kebijakan poppy ban. Pertanyaannya adalah bentuk dukungan apa yang mana dapat diberikan oleh komunitas internasional sehingga kebijakan ini dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Afghanistan,” kata dia, merujuk pada larangan menginvestasikan opium pada Afghanistan, yang digunakan telah lama menurunkan 95 persen cultivation of opium di Afghanistan.

Dalam konteks ini, Retno mengungkapkan perlunya rehabilitasi bagi pengguna obat yang jumlahnya cukup signifikan kemudian berasal dari generasi muda Afghanistan.

“Masa depan negara Afghanistan akan suram apabila upaya rehabilitasi bukan berhasil,” ujar dia, menegaskan.

Dia kemudian menekankan pentingnya pendekatan inklusif serta kebijakan treatment yang setara, di mana para orang yang terluka perempuan dapat memperoleh perlakuan yang digunakan setara. Dalam konteks ini, Negara Indonesia siap membantu upaya rehabilitasi juga inisiatif reintegrasi ke masyarakat.

Retno kemudian memaparkan pentingnya menyediakan sumber perekonomian alternatif bagi hidup penduduk Afghanistan, dengan meningkatkan kekuatan kemampuan sektor ekonomi komunitas.

Indonesia telah lama berazam untuk menyiapkan mata pencaharian alternatif bagi 2.000 rumah tangga di Distrik Chaparhar di dalam Provinsi Nangarhar, melalui dukungan untuk praktik agronomi yang berdampak bagi lebih lanjut dari 14.000 rakyat Afghanistan.

“Indonesia juga menggerakkan negara-negara yang dimaksud memiliki kesamaan karakter tanah juga cuaca, untuk dapat membantu rakyat negara Afghanistan di identifikasi vegetasi yang mana cocok untuk dikembangkan,” kata Retno.

Terakhir, mengenai penegakan hukum, Retno memaparkan bahwa meskipun poppy ban telah dilakukan, tetapi masih juga ada kegiatan perdagangan ramuan terlarang dengan situasi yang dimaksud cukup mengkhawatirkan.

“Oleh dikarenakan itu, kerja mirip untuk law enforcement, terutama dengan negara tetangga, menjadi sangat penting artinya,” katanya.

Pertemuan Doha III dipimpin oleh Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik dan juga Pembangunan Damai Rosemary DiCarlo dan juga dihadiri oleh Taliban sebagai otoritas de facto ke Afghanistan.

Pertemuan itu juga disertai oleh perwakilan dari 25 negara, yaitu Amerika Serikat, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Korea Selatan, India, China, Jerman, Tajikistan, Uzbekistan, Kanada, Norwegia, Rusia, Turki, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan juga dihadiri pula oleh beberapa jumlah organisasi internasional, antara lain PBB, Uni Eropa, Organisasi Kerja Sama Islam, juga Asian Development Bank.

 

Artikel ini disadur dari Retno: Ekonomi inklusif harus termasuk dalam pembangunan Afghanistan

Exit mobile version