TEGALPOS.COM – Jakarta – Nilai tukar rupiah terpuruk di dalam hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan ini. Pada perdagangan terakhir pekan ini, hari terakhir pekan (2/3/2024), nilai tukar rupiah ditutup di dalam tempat Rp15.695/US$ atau terapresiasi 0,095%. Menguatkan ini mematahkan tren pelemahan yang mana terjadi lima hari beruntun.
Namun, pada sepekan, nilai tukar rupiah ambruk 0,67%. Pelemahan ini memutus tren negatif rupiah yang tersebut menguat pada empat pekan sebelumnya. Pelemahan rupiah dipicu sentimen eksternal dan juga internal, mulai dari perkembangan di area Amerika Serikat (AS) hingga capital outflow.
Pelemahan sebesar 0,68% pada pekan ini juga memproduksi mata uang Garuda sebagai mata uang terlemah di tempat Asia. Sejumlah mata uang Asia bahkan mampu mencatatkan data kenaikan signifikan seperti ringgit Malaysia.
Rupiah ambruk teristimewa dipicu oleh besarnya arus capital outflow.
Merujuk data Bank Indonesia berdasarkan operasi 26-29 Februari 2024, penanam modal asing mencatat jual neto Rp2,00 triliun terdiri dari jual neto Rp0,82 triliun di tempat lingkungan ekonomi Surat Berharga Negara, jual neto Rp2,64 triliun di tempat pangsa saham, serta beli neto Rp1,46 triliun pada Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Investor asing memilih meninggalkan lingkungan ekonomi keuangan Indonesia dikarenakan belum ada tanda-tanda pemangkasan suku bunga pada AS. Dari di negeri, kondisi twin deficit menyebabkan Indonesia menjadi kurang menarik.
Indonesia membukukan twin deficit dari proses berjalan juga defisit Anggaran Pendapatan lalu Belanja Negara (APBN).
Indonesia mencatatkan defisit Transaksi Berjalan hingga US$1,3 miliar pada kuartal IV-2023 sementara secara keseluruhan tahun 2023 defisitnya mencapai US$1,6 Miliar atau 0,1% dari Layanan Domestik Bruto (PDB). Di sisi lain APBN 2023 defisit sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65% dari Layanan Domestik Bruto (PDB).
Dari eksternal, tekanan datang dari melemahnya kegiatan ekonomi China serta beberapa orang negara maju juga perkembangan pada AS.
Guncangan eksternal terjadi di dalam berada dalam pelemahan kegiatan ekonomi global yang mana diperkirakan terjadi pada 2024 khususnya dari beberapa negara progresif di dalam dunia.
China sebagai negara terbesar di area Asia yang mana mempunyai dampak besar bagi negara tetangganya, diperkirakan miliki pertumbuhan kegiatan ekonomi yang dimaksud kurang dari 5% di area tahun ini. Hal ini terjadi di tempat sedang krisis properti yang dimaksud melanda, tingkat pengangguran kaum muda yang cukup tinggi bahkan sempat menyentuh 21,3% pada Juni 2023. Tidak sampai di area situ, total utang yang sangat tinggi jikalau dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto juga memberikan tekanan.
Sementara negara forward lainnya yakni Jepun kemudian Inggris tercatat mengalami resesi atau dengan kata lain perkembangan Ekonomi Nasional berada di dalam zona negatif dalam kuartal tiga dan juga empat secara beruntun.
Situasi ini menunjukkan perekonomian global sedang tidak ada baik-baik belaka juga hal ini memberi dampak untuk negara lainnya yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap negara-negara maju.
Sementara itu, bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) belum juga menunjukkan tanda akan memangkas suku bunga pasca kenaikan harga masih panas.
Inflasi Amerika Serikat menembus 3,1%(year on year/yoy)pada Januari 2024, melandai dari 3,4% pada Desember 2023 tetapi jarak jauh di area melawan ekspektasi lingkungan ekonomi (2,9%). Kabar baik baru datang pada Kamis pekan ini setelahnya data pemuaian pengeluaran konsumen pribadi Negeri Paman Sam melemah.
Biro Analisis Perekonomian Departemen Perdagangan Negeri Paman Sam melaporkan naiknya harga PCE pada Januari lalu naik tercatat 2,4% secara tahunan (yoy) serta mencapai 0,3% secara bulanan (month-to-month/mtm). Angka bulanan lebih lanjut tinggi dari periode Desember 2023 yang tersebut meningkat 0,1%, namun secara tahunan lebih besar rendah dari Desember 2023 yang dimaksud bertambah 2,6%.
Angka ini juga telah sesuai dengan ekspektasi pasar, yang tersebut memperkirakan naiknya harga PCEÂ Â mencapai 0,3% (mtm) kemudian 2,4% (yoy).
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
SUMBER CNBC.COM